Senyuman
Terindah dan Terakhir
Raja Perdana, itulah nama sahabat yang selalu hadir dalam kehidupanku. Aku
sangat mengenal Raja, dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi
cobaan yang menerpanya. Senyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku
saat aku sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah. Namun, waktu
untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin berkurang. Penyakit
berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya, membuat Raja lebih sering
berada di ruang yang penuh rumah sakit dan Raja tidak lagi melakukan aktivitas
yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit yang dialami Raja juga pernah
dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke sisi Allah.
Setelah beranjak pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran,
biasanya aku pulang bersama sahabatku, Raja, sekarang aku hanya sendiri
menyusuri jalanan sepi.
Aku pulang ke rumah, mengganti baju, dan segera menuju ke supermarket,
untuk membeli buah-buahan.
“Ga…” terdengar sebuah suara
menyapaku dari belakang. Saat aku berbalik, terlihat sesosok pria tinggi,
berumur sekitar lima puluhan.
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Raja, apa dia udah sadar?” tanyaku waswas.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Raja. Alhamdullillah sekarang Raja udah sadar. Toga mau menjenguk Raja, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”
“Ehh… Om Anton, beli buah juga ya? Gimana keadaan Raja, apa dia udah sadar?” tanyaku waswas.
“Iya, Oom beli buah juga untuk Raja. Alhamdullillah sekarang Raja udah sadar. Toga mau menjenguk Raja, ya?” jawab Om Anton sambil bertanya balik.
“Iya, Om.”
“Kalau gitu, bareng om aja. Oom juga
mau ke rumah sakit,” tawar Om Anton.
“Iya Om, Toga ikut sama Om Anton.” jawabku.
“Iya Om, Toga ikut sama Om Anton.” jawabku.
Sebelum menuju ke rumah sakit, aku dan Om Anton menuju ke sebuah toko
bunga hidup. Aku memilih tiga batang bunga anggrek putih, dan Om Anton memilih
serangkaian bunga anggrek merah muda. Setelah membayar bunga yang dipilih, kami
langsung menuju ke rumah sakit.
“Weyyy Raja…” kataku sembari mendekapnya penuh
kerinduan. Kesepianku terobati, bibirku yang tadinya datar karena nilai
ulanganku yang di bawah standar, menjadi sebuah lengkungan atau tepatnya
menjadi sebuah senyuman.
“Ja… kamu cepat sembuh ya. Aku rindu
saat-saat bersama kamu beberapa tahun lalu. Sepi. Itulah yang aku rasakan
selama ini, Raja…” kataku usai mendekapnya, dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu gak usah khawatir aku pasti
sembuh, ya, kan, Pa?” jawabnya sambil tersenyum ramah, lalu menoleh kearah
ayahnya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Raja. Walaupun Raja berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu menyiksanya.
Om Anton hanya mengangguk dan mengiyakan ucapan anak semata wayangnya itu. Om Anton selalu terlihat sedih jika ia menatap Raja. Walaupun Raja berkata seperti itu, aku tetap khawatir kepadanya. Ia selalu menutupi hal yang sebenarnya selalu menyiksanya.
Hari berganti hari. Keadaan Raja seakan tak dapat diselamatkan. Darah
yang keluar dari hidungnya semakin sering dan semakin banyak keluar dengan
sia-sia. Hatiku makin perih, apalagi Om Anton, ia takut kehilangan Raja yang
akan genap berusia empat belas tahun.
***
Seperti biasanya, hari ini pun aku
akan pergi ke rumah sakit. Huh… siang ini sang mentari bersinar dengan
sesukanya, sepertinya ia tega membakar kulit makhluk hidup yang hanya
berpayungkan langit.
Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Raja seperti makhluk yang tak
berdaya, hidung, mulut, dan telinganya mengeluarkan darah yang tak hentinya
mengalir. Dokter,dan perawat berusaha menghentikan darah yang mengalir. Hatiku
getir. Tak kuasaku menahan tangisan ini, begitu juga dengan Om Anton yang tak
hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Bibir Raja sepertinya ingin
mengatakan sesuatu, tapi sulit baginya untuk menggerakkannya, hanya menangis
yang dapat Raja lakukan. Setelah itu kulihat senyuman terindah dari bibirnya.
Tak lama hal itu berlangsung, nafas, serta detak jantung Raja berhenti.
Tuhan sudah berkehendak. Hal yang paling ditakuti Om Anton akhirnya terjadi.
Langit yang berwarna cerah berubah kelabu, tetesan kristal berjatuhan dari
langit.
“Rajaaaaa…” teriakku berbarengan dengan Om Anton. Raja telah menyusul ibunya. “Raja… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
“Rajaaaaa…” teriakku berbarengan dengan Om Anton. Raja telah menyusul ibunya. “Raja… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
***
Beberapa tahun sudah berlalu. Aku pergi ke toko bunga hidup, kali ini
aku membeli serangkaian bunga anggrek. Lalu pergi ke TPU untuk berziarah ke
makam sahabatku, Raja. Tidak sulit bagiku untuk mencari makam Raja, hanya
beberapa meter dari gerbang TPU. Dari gerbang kulihat seseorang berada berada
di makam Raja. Kuperhatikan orang itu. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan
beranjak dari makam Raja.
Akupun melanjutkan perjalananku menuju makam Raja. Saat berpapasan
ternyata orang itu adalah Om Anton. Ia menyapaku dan tersenyum, lalu ia bilang
padaku bahwa Raja ada di sini. Aku terkejut, mungkin Om Anton hanya
bercanda. Aku hanya tersenyum, dan berjalan menuju makam Raja.
Kuletakkan serangkaian bunga anggrek yang kubeli tadi di atas makam Raja.
Aku mengucapkan selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang pada Raja.
Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabatku diabadikan.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan di depanku atau lebih tepatnya
seseorang. Wajahnya mirip dengan sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu
mengingatkanku pada senyuman terakhir Raja. Kubalas senyum itu, seketika ia
menghilang.
Mungkinkah itu Raja. . . . .
Mungkinkah itu Raja. . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar